Kadang kala manusia itu tidak pernah puas dengan apa yang sudah diperoleh, kadang kala manusia itu larut dalam genggaman harta dan tahta yang dimilikinya, kadang kala manusia itu tidak sadar bahwa ia sudah terbudakkan oleh harta dan kesenangan dunia. Walaupun sudah bertubi – tubi teguran yang diberikan Tuhan kepadanya, tetap saja ia tak bergeming akan peringatanNya.
Sebuah keluarga bahagia akhirnya hancur hanya karena kesenangan dunia yang toh tak akan ia bawa sampai kehidupan selanjutnya yang akan ia lalui.
Ron, sebuah nama yang diberikan oleh sepasang insan yang diamanahkan oleh Tuhan untuk menjaga harta berharga yang diberikanNya itu. Tinggal disebuah gubuk reot ditengah – tengah hamparan hijau nan penuh dengan makhluk unik ciptaanNya. Walaupun hanya itu istana yang ia mereka miliki, Allah Yang Maha Kuasa tetap menjadi tumpuan untuk tetap menjejaki kehidupan yang penuh nestapa dan cobaan.
Ibu Ratna dan Bapak Syaifudin itulah nama orang tua Ron yang hanya berlatar belakang pendidikan sekolah dasar yang itupun tak dapat terselesaikan dikarenakan himpitan ekonomi yang “mencekik” masing – masing keluarga mereka.
Sebagaimana masyarakat zaman dulu, biasanya memiliki banyak anak dengan alasan menurut kepercayaan nenek moyang banyak anak banyak rezeki. Hal itu pulalah yang menghampiri keluarga Pak Syai dan Ibu Rat. Mereka memiliki banyak saudara dan semua sudah menikah dan memiliki momongan. Kadang karena saking banyaknya keponakan, mereka jadi sering lupa masing – masing namanya. Hal itu pulalah yang sering jadi bahan tertawaan untuk menghibur suasana ditengah keadaan yang meradang.
Melihat saudara mereka memiliki momongan tak membuat mereka tergiur untuk berprogram “banyak anak banyak rezeki” pula. Pak Syai dan Bu Rat adalah orang – orang pintar yang mengerti akan keadaan masa kini. Saat tengah mengenyam pendidikan dulu sebenarnya mereka memiliki prestasi yang luar biasa, tapi lagi – lagi himpitan ekonomi tak mengizinkan mereka untuk terus berkarya. Tapi mereka terus mengikuti perkembangan zaman, pemikiran mereka mengalir sesuai dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Tapi mengapa mereka tetap terkekang oleh kemiskinan yang mendera? Hanya kuasa Allah SWT lah yang akan merubah nasib mereka.
Alhamdulillah mereka diberikan dua orang titipan Allah yang begitu mereka jaga, mereka naungi, dan mereka didik semaksimal mungkin agar bisa menjadi “orang” yang bisa diandalkan bagi agama, bangsa dan Negara, dan bagi mereka tersendiri. Roni Muhammad Ilham dan Rani Syarifah Jamilah, dua orang remaja yang harus kerja keras demi melangsungkan hidup untuk keluarga.
Nasib seperti ini tak membuat mereka minder dengan teman – teman sebaya mereka, apalagi mereka mempunyai sahabat yang selalu ada dikala senang maupun sedih. Permasalahan ekonomi tak menghalangi prestasi menghampiri kakak beradik itu untuk membanggakan kedua orangtua mereka.
Ron yang sekarang telah duduk dibangku SMA terus melaju memberikan kemampuan terbaiknya yang juga menjadi andalannya untuk membiayai pendidikan, dimana hal tersebut tidak bisa terlalu diharapkan dari kedua orang tuanya yang hanya berprofesi sebagai petani desa.
Berhasil bersekolah di SMA favorit dikota membuat Ron semakin giat dan ulet belajar karena sekolah favorit dikota yang notabene biaya pendidikannya begitu mahal tak mau ia sia – siakan begitu saja. “Apalah artinya sekolah dikota, sekolah favorit lagi jika aku tak bisa berprestasi. Aku tak ingin mengecewakan kedua orang tuaku, aku tak mau menjadi beban berat yang harus mereka pikul. Walaupun aku orang miskin, aku tetap berharap setidaknya jangan sampai beasiswa yang aku dapat atas ketidakmampuan ekonomi. Aku tak ingin diremehkan…”. Begitulah pemikiran seorang remaja yang mulai beranjak dewasa itu. Seringkali ia mengingat hal tersebut yang membuat dirinya tak patah semangat.
Sama halnya dengan abangnya, Rina pun begitu. Seolah tidak ingin kalah dengan sekuat tenaga iapun berusaha untuk berprestasi agar orangtuanya tidak terlalu terpikul oleh beban ekonomi yang serasa tidak pernah berhenti menghantui kehidupan mereka.
>_<
You Might Also Like :
0 cuapan:
Posting Komentar